Makalah sistem islam di Amerika dan inggris
SEPINTAS TENTANG PRODUK FATWA HUKUM KELUARGA ISLAM DALAM FIQH AL-AQALLIYYAT
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Studi Kawasan Hukum Keluarga
Dosen Pengampu:
Dr. Ulin Na’mah, M.H.I.
Disusun oleh kelompok 3 yaitu:
Anggun Risdiana Watiningrum (931103316)
Silvia Rahman (931106016)
M. Arsyadanil M. (931108616)
Tasik Nugroho (931109616)
PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKSIYAH
JURUSAN SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KEDIRI
2018
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah kami panjatkan kepada Allah Yang Maha Kuasa, karena atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya makalah yang berjudul “SEPINTAS TENTANG PRODUK FATWA HUKUM KELUARGA ISLAM DALAM FIQH AL-AQALLIYYAT” sebagai tugas mata kuliah Studi Kawasan Hukum Keluarga dapat terselesaikan dengan baik.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Ibu Dr. Ulin Na’mah, M.H.I. selaku dosen mata kuliah Studi Kawasan Hukum Keluarga yang telah membimbing kami, serta teman-teman yang telah membantu dalam proses penyusunan makalah ini.
Tiada satupun yang sempurna di dunia fana ini, penyusun menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini sehingga kritik dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan guna memperbaiki kesalahan serta meningkatkan kualitas pada penulisan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat membawa berkah dan manfaat bagi kita semua, amin.
Kediri, 10 Desember 2018
Penyusun
DAFTAR ISI
Cover i
Kata Pengantar ii
Daftar Isi iii
BAB 1 PENDAHULUAN
Latar Belakang 1
Rumusan Masalah 1
Tujuan Penulisan 1
BAB ll PEMBAHASAN
Hukum Keluarga Islam di Amerika 2
Hukuman Keluarga Islam di Inggris 5
Hukum Keluarga Islam di Jerman 7
BAB lll PENUTUP
Kesimpulan ................................................ 10
Kritik ................................................................ 10
Saran ................................................................. 10
Daftar Pustaka ................................................................. 11
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pluralitas dan heterogenitas saat ini tidak dapat dihindarkan lagi. Di suatu negara, tidak hanya tinggal di dalamnya warga negarannya saja, melainkan banyak terdapat warga negara asing yang ikut tinggal menetap. Adanya warga negara asing yang tinggal di negara lain akan menimbulkan banyak permasalahan Hukum Perdata Internasional. Dalam kajian HPI, suatu persoalan termasuk kasus HPI jika ada unsur asing, baik karena unsur personal maupun karena teritorial. Berdasarkan unsur personal misalnya masalah keperdataan antara warna negara yang berbeda, dedangkan warga negara asing yang telah menikah dari negaranya kemudian tinggal di negara lain, akan mengalami perbedaan wilayah hukum jika terdapat masalah dalam hukum keluarga.
Makalah ini membahas tentang penerapan hukum keluarga Islam dalam masyarakat muslim migran tersebut yang tersebar di negara-negara Barat seperti Amerika, Inggris, dan Jerman.
Rumusan Masalah
Bagaimana Hukum Keluarga Islam di Amerika?
Bagaimana Hukum Keluarga Islam di Inggris?
Bagaimana Hukum Keluarga Islam di Jerman?
Tujuan Masalah
Untuk mengetahui Hukum Keluarga Islam di Amerika.
Untuk mengetahui Hukum Keluarga Islam di Inggris.
Untuk mengetahui Hukum Keluarga Islam di Jerman.
BAB II
PEMBAHASAN
Hukum Keluarga Islam di Amerika
Di Amerika terdapat sekitar 6-8 juta muslim yang separuhnya dari para imigran dari Asia, Timur Tengah, Afrika dan Eropa dan berbagai belahan dunia lainnya, sedangkan separuh lagi dari penduduk asli Amerika seperti Euro-Amerika, Native Amerika dan Latin. Muslim di Amerika ini melaksanakan hukum Islam, terutama dalam hukum keluarga berdasarkan fiqh. Mereka memiliki pemimpin spiritual seperti Imam. Dalam kumunitas muslimnya inilah mereka melaksanakan hukum keluarga Islam. Dalam hukum perkawinan misalnya, mereka tetap melaksanakan perkawinan sipil berdasarkan hukum negara, yaitu yang dicatat oleh negara. Di samping itu, mereka juga melaksanakan upacara akad perkawinan menurut agama Islam, yang dipimpin oleh Imam. Jadi terdapat dua system hukum yang mereka laksanakan yaitu hukum negara dna hukum Islam untuk internal masyakarat muslim di sana.
Dalam akad perkawinannya, para muslim Amerika kebanyakan menganggap hanya dengan lisensi perkawinan sipil saja, kemudian membawakan mahar untuk diberikan kepada istri. Kebanyakan menganut fiqh klasik yang memberikan mahar secara otomatis dalam akad perkawinan. Tentang pengurusan mahar juga didokumentasikan dalam perkawinan muslim Amerika ini dan sering menjadi satu dengan dokumen akad nikah di masjid-masjid dan Imamnya. Jadi pernyataan tentang pemberian mahar dan jenis maharnya tertera dalam dokumen akad perkawinan tersebut. Misalnya mahar berupa sejumlah uang, al-Qur’an dan serangkaian kitab hadis, sebuah mobil baru, janji untuk mengajarkan beberapa bagian dari surat al-Qur’an, mahar kontannya dengan sejumlah uang dan mahar terutangnya berapa lagi, janji akan mengajari pelajaran bahasa arab, satu set computer, satu tempat gym, sebuah perjalanan keliling dunia dan salah satu pemberhentian adalah di Makkah, Madinah dan Yerusalem, sebuah jaket kulit, sebuah handphone, sebuah cincin perkawinan, delapan set kitab hadis, juga sajadah.
Ketika hukum Islam dan hukum negara bertentangan, maka meraka melaksanakan hanya berdasarkan hukum Islam, dan ini kemudian akan menjadi masalah. Misalnya dalam masalah poligami. Para muslim yang meganut fiqh klasik masih mengangap bahwa poligami merupakan suatu yang diperbolehkan dalam hukum Islam, tetapi hukum negara melarangnya. Oleh karena itu, jika seorang suami berpoligami, dia hanya menggunakan hukum agama Islam. Mislanya, menikah dengan istri pertamanya dengan pencatatan yang sah secara hukum negara (tentu juga diikuti dengan pelaksanakan uparaca akad perkawinan berdasarkan hukum agama), sehingga status anak-anaknya juga merupakan anak sah dari perkawinan tersebut yang diakui dalam hukum negara. Sementara perkawinannya dengan istri kedua hanya dengan hukum agama, dengan upacara akad nikah yang dipimpin oleh imamnya.
Permasalahannya di sini adalah, mengenai status istri kedua dalam perkawinan dan status anak-anaknya, yang tidak diakui oleh negara. Dalam perkembangannya, banyak laki-laki muslim yang berkomitmen untuk tidak berpoligami, bahkan di negara-negara muslim pun, menetapkan hukum Islam yang membatasi praktik poligami, dan cenderung mempersulitnya. Dalam masalah sengketa dalam keluarga dapat diselesaikan baik dengan pengadilan negara ataupun dengan perantara imam. Kebanyakan keluarga muslim di Amerika menyelesiakan masalah keluarganya dalam internal keluarga terlebih dahulu, kemudian jika belum terselesaikan baru dibawa kepada kerabatnya sebagai arbitrator dan mediator. Mereka menyelesaikan sengeketa tersebut dalm bingkai hukum Islam, jarang yang mengajukan ke pengadilan negara.
Para konsultan muslim seperti Cherrefe Kadri, Sermid al-Sarraf menyatakan bahwa dengan kemampuan berbahasa arab dan membangun kepercayaan sebagai mediator, mereka banyak membantu menyelesaikan sengketa para pasangan muslim dengan negoisasi, dan semua di luar pengadilan.Wilayah yang rentan konflik adalah perkawinan beda agama. Dalam fiqh klasik, diperbolehkan bagi laki-laki mulim untuk menikahi non-muslim monotheis (ahl al-kitab), tetapi tidak diperbolehkan bagi perempuan. Sementara dalam hukum negara, agama tidak menjadi syarat perkawinan. Dengan adanya percampuran dalam kehidupan di masyarakat plural di Amerika, banyak muslim baik itu laki-laki maupun perempuan yang akhirnya menikah dengan non muslim. Tetapi banyak yang menkritik para muslim perempuan yang menikah dengan laki-laki non-muslim, berdasarkan standar fiqh. Beberapa kritik juga ditujukan kepada para laki-laki muslim yang menikahi perempuan non muslim, berdasarkan argument bahwa hal ini akan semakin mengurangi jumlah laki-laki muslim yang akan menikahi perempuan mulslim di Amerika. Di sisi lain, terdapat pemikiran yang menyatakan bahwa pelarangan bagi seorang muslim perempuan untuk menikah dnegan laki-laki non-muslim adalah karena konteks patriakhi yang dikhawatirkan bahwa laki-laki non muslim tersebut akan membawa perempuan sebagai istrinya kepada agamanya (non-muslim), dan sekarang konteksnya telah berubah. Hal ini dikemukakan oleh Azizah al-Hibri, dan menurutnya hal itu adalah illah hukumnya.
Saat ini illah itu juga masih jika dalam hal perceraian antara laki-laki muslim yang menikahi perempuan non-muslim, sehingga hak pengasuhan anak berada pada istri yang non-muslim, maka pelarangan perkawinan beda agama juga lazim bagi mereka. Beberapa perkawinan beda agama terjadi dalam perkawinan intercultural antara penduduk asli Amerika dengan muslim pendatang. Dan jika pihak pendatang adalah suami, di kalangan orang tua Amerika muncul kekhawatiran jika anak gadisnya akan dibawa ke negara asal suaminya, dan dia kehilangan hak-haknya seperti yang dia dapatkan di Amerika. Permasalahannya di negara-negara muslim, hak pengasuhan anak berada mutlak pada suami dan istri tidak dapat keluar dari rumah dan meningalkan negara tersebut tanpa seijin suaminya, dan apalagi tidak boleh membawa anaknya pergi dari suaminya. Stereotype seperti ini sering terjadi, karena sulit untuk membedakan antara agama Islam dan budaya, dan semua itu masuk menjadi satu dalam bagian dari Islam dan hukum keluarga Islam.
Perceraian dalam keluarga muslim Amerika didasarkan kepada pengadilan negara, karena harus mendapatkan pengakuan yang sah dari negara. Terkadang masalah hukum keluarga Islam juga muncul dalam kasus perceraian ini. Misalnya tentang tuntutan pengembalian mahar. Mereka sering didampingi oleh para professional hukum baik dari yang muslim maupun dari organisasi hukum di Amerika, sehingga mereka mengetahui hak-haknya baik dalam hukum Islam maupun dalam hukum negara Amerika. Karena banyak para ahli hukum muslim yang juga menjadi ahli hukum dalam organisasi hukum Amerika. Sangat sedikit perceraian yang dilakukan di luar pengadilan Amerika, misalnya dengan pengucapan talak sendiri oleh suami, atau dengan arbitrasi muslim, karena hal itu tidak mendapatkan mengakuan dari hukum negara. Perkawinan Islam sulit mendapat Pengakuan dari hukum Amerika. Hal ini dapat dilihat dalam kasus Farah v Farah di Virginia tahun 1993, dua orang warga negara Pakistan yang menikah di Inggris (a proxy marriage in England) dengan serangkaian upacara resepsi perkawina di Pakistan, kemudian keduanya pindah ke Amerika. Karena proxy marriagetidak memenuhi persyaratan dalam hukum perkawinan Inggris tentang perkawinan yang sah, maka perkawinan mereka juga dianggap tidak sah oleh pengadilan Virginia Amerika, dengan menyatakan bahwa proxy marriage dengan serangkaian perkawinan menurut hukum keluarga Islam yang dianggap sah di Pakistan, dianggap tidak relevan di Amerika.17Kasus lain antara Shike v Shike tahun 2000, pasangan muslim yang menikah dalam upacara perkawinan Islam di Pakistan dan kemudian didokumentasikan di Texas dengan lisensi standar perkawinan yang ditandatangani oleh imam di Texas. Pasangan ini percaya bahwa perkawinan mereka telah bersifat mengikat, tetapi pengadilan menolak perkawinan tersebut, sehingga mereka menikah kembali berdasarkan hukum Texas.
Hukum Keluarga Islam di Inggris
Inggris telah lama menjadi negara migrasi, dan berbagai kelompok penduduk tinggal menetap di sana. Sekitar dua juta muslim juga tinggal di sana, mereka menjadi masyarakat agama minoritas. Di Inggris, tidak terdapat pemisahan antara negara dan gereja, dan tidak ada mekanisme bagi negara untuk mengakui secara resmi komunitas keagamaan. Gereja Inggris merupakan agama dominan dan hubungan khusus pun terjalin antara kerajaan dan gereja Inggris ini dengan symbol bahwa ratu adalah kepala negara dan pimpinsn tertinggi gereja Inggris.
Sejak tahun 1970-an, persatuan organisasi muslim di United Kingdom menyelenggarakan sejumlah pertemuan yang pada puncaknya membuat resolusi untuk memperoleh pengakuan terhadap sistem Muslim Famiy Law yang terpisah, yang dapat diterapkan untuk umat muslim di Inggris. Para sarjana muslim yang menginisiasi resolusi tersebut mengatakan bahwa dalam konteks negara barat ini, terdapat peluang bagi hukum personal berdasarkan agama untuk berlaku di samping sistem hukum keluarga yang sekuler ini. Tahun 1984, sebuah muslim charter dihasilkan yang menuntut bahwa syariah harus diberikan tempat untuk diterapkan terutama dalam bidang status personal law. Usulan diajukan kepada menteri-menteri dipemerintahan, dengan pandangan untuk mendapatkan tempat di legislasi parlemen Inggris. Tuntutan ini digulirkan secara public tahun 1996.
Hukum keluarga di Inggris:
Pernikahan
Hukum Inggris tidak membuat sebuah konsesiterhadap hukum lain atau tradiri dalam kaitannya dengan kapasitas untuk menikah di Inggris. Pernikahan di mana salah satu pihak berada dibawah 16 tahun menurut hukum positif Inggris dilarang, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No.56 Tahun 1949 pernikahan. Selain itu, tampak jelas bahwa hukum Inggris benar-benar mengabaikan larangan Islam tentang pernikahan antara wanita muslim dan laki-laki non muslim. Dengan demikian, setiap pernikahan bagi warga Inggris harus menganut sistem hukum di negara tersebut.
Perceraian
Menurut hukum Islam perceraian dapat diperoleh dengan sejumlah cara yang berbeda, terutama di luar hukum melalui talaq (penolakan sepihak oleh suami) dan khulu’ (perceraian oleh inisiatif istri dengan kesepakatan suami dan atas dasar bahwa ia akan mengorbankan haknya untuk mahar). Menurut hukum positif yang berlaku di Inggris, untuk mendapatkan kekuatan hukum hanya ada satu cara, yaitu melalui sebuah dekrit yang diberikan oleh pengadilan yuridis perdata atas dasar bahwa pernikahan telah ireversible ( tidak dapat dipertahankan lagi). Kesepakatan bersama antara suami isteri membuktikan dasar perceraian, tetapi jangka waktu dua tahun pemisahan diperlukan untuk membangun kerusakan dan para pihak tidak bebas untuk menikah lagi sampai keputusan dibuat mutlak oleh pengadilan.
Hak dan kewajiban pascaperceraian
Negara Inggris memiliki sebuah pengadilan kebijaksanaan yang luas, dalam pedoman tertentu yang ditetapkan oleh parlemen, untuk memutuskan permasalahan kewajiban nafkah pascaperceraian. Jika demikian, berapa besar jumlah yang harus ditentukan. Selama masa perpisahan antara suami dan istri yang telah bercerai, baik hukum Inggris maupun hukum Islam, mengharuskan seorang suami mendukung istrinya dalam keadaan yang tepat.
Hukum perceraian muslim hanya mewajibkan seorang suami untuk menunaikan kewajiban nafkah istrinya selama periode 3 bulan selama masa ‘iddah. Dalam waktu ini seorang istri dilarang menikah lagi. Namun, seorang suami juga harus membayar mahar yang ditangguhkan karena konsekuensi dari kontrak perkawinan. Pengadilan Inggris telah siap untuk memerintahkan pembayaran mahar tersebut dan pengadilan pun akan mempertimbangkan pembayaran mahar secara tunai seperti dalam penilaian mereka secara keseluruhan apa yang akan menjadi pembagian modal yang tepat pasangan dan sumber daya pendapatan dalam memutuskan apakah seorang suami tersebut telah mampu secara finansial.
Pembagian Harta Warisan
Aturan pemerintah Inggris berlaku baik warisan dari harta tidak bergerak dan harta bergerak ( di mana pun berada) jika pada saat kematian almarhum adalah berdomisili di negara tersebut. Hukum Islam, yang pada dasarnya mengoperasikan sistem yang sangat rumit mengalokasikan paham matematika untuk berbagai kerabat, hanya dapat ditetapkan langsung dalam hal harta tak bergerak yang terletak di luar negeri, atau dalam kasus movables, di mana almarhum meninggal berdomisili di negara yang memberlakukan hukum Islam tersebut.
Sementara dalam aturan negara Inggris untuk pendistribusian harta warisan tanpa adanya wasiat, terdapat perbedaan dalam hukum wasiat muslim. Tidak ada hukum Inggris untuk mencegah seorang muslim untuk men-tasaruf-kan harta warisan harta peninggalannya sesuai dengan pola waris Islam. Persyaratan tersebut terbuka dengan mengklaim dari pihak keluarga (ahli waris) yang mampu membuktikan adanya ketentuan keuangan yang wajar untuk mereka.
Hukum Keluarga Islam di Jerman
Setelah terjadinya migrasi buruh di tahun 1960 an dan 1970an, penduduk muslim semakin banyak di Jerman. Dalam sensus penduduk tahun 2011, terdapat sekitar 1,5 juta jiwa atau 1.9 % beragama Islam, dan sebelumnya diperkirakan pada tahun 2009 muslim di jerman sekitar 4,3 juta atau 5,4 % dan 1,9 juta atau 2,4 % telah mengubah kewarganegaraannya menjadi warga negara Jerman, dan tahun 2006 sekitar 15 ribu orang telah mengubah status kewarganegaraannya menjadi warga negara Jerman.
Mayoritas muslim di jerman adalah orang-orang yang berasal dari Turki yaitu mencapai 63,2 %, kemudian Pakistan, baru Yugoslavia, negara-negara Arab, Iran, dan Afganistan. Kebanyakan muslim tinggal di Berlin dan sebagian besar kota-kota dibagian Jerman Barat. Adapun mayoritas muslim di Jerman adalah warga Sunny, yaitu 75%, sedangkan warga Syiah adalah 7% yang kebanyakan berasal dari Iran dan Ahmadiyah hanya 1% yaitu yang kebanyakan dari Pakistan.
Hukum Islam di Jerman diberlakukan pada dua level yaitu secara langsung dan tidak langsung. Adapun dalam level penerapan langsung ini terkait dengan permasalahan Hukum Perdata Internasional. Jerman sebagai negeara yang menganut civil law system, ketika dihadapkan pada kasus status personal maka lebih cenderung mengacu kepada prinsip nasionalitas, sehingga hukum asinglah yang harus diterapkan. Hal ini diatur lebih lanjut pada EGBGB ( Einfuebrungsgesetz zum Burgerlihen Gesezbuch). Adapun kasus-kasus terkait dengan penerapan hukum Islam di pengadilan Jerman adalah sebagai berikut:
Talak bagi laki-laki
Dalam hukum keluarga Islam, suami memiliki hak talak, hal ini sebenarnya bertentangan dengan public order di Jerman yaitu tentang kesetaraan gender antara pasangan. Kasus-kasus terakhir di tahun 1998 memutuskan talak melanggar public order Jerman, tetapi Pengadilan Jerman dapat menerima talak jika istri yang hendak dicerai menyetujuinya di depan pengadilan.
Kecakapan hukum dalam perkawinan; yaitu minimum 15 tahun bagi perempuan ataupun 18 tahun bagi laki-laki. Minimum usia perkawinan ini bertentangan dengan hukum Jerman, dan public order Jerman yang menetapkan usia minimum 18 tahun, tetapi pengadilan di Jerman memberikan pengecualian 16 tahun ke atas, dan bagi perempuan yang belum dewasa ini di dampingi wali yaitu pihak keluarganya yang laki-laki baik dalam memilih pasangan maupun dalam melaksanakan perkawinan.
Mahar
Dalam perkawinan, mahar juga tidak ada dalam hukum Jerman, tetapi dalam beberapa kasus bagi muslim di Jerman, pengadilan mengakomodasi mahar ini.
Pelarangan dalam perkawinan beda agama
Pelarangan ini sangat bertentangan dengan public order Jerman, yaitu tentang kesetaraan dan kebebasan beragama.
Poligami
Poligami juga merupakan hal yeng bertentangan dengan hukum Jerman, karena hukum Jerman hanya mengakui monogami.
Hak nafkah setelah perceraian
Setelah perceraian, dalam hukum Jerman tidak ada konsep pemberian nafkah setelah perceraian, tetapi pengadilan Jerman dapat menerima talak dan konsekuensinya seperti pemberian hak nafkah bagi istri yang ditalak, di bawah hukum asing yang diberlakukan.
Perwalian dan pengasuhan anak
Aturan pengasuhan anak menurut hukum Islam bertentangan dengan public order di Jerman tentang kesejahteraan anak, tetapi pengadilan Jerman tetap menerapkan hukum ini dengan mengesampingkan public order-nya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari paparan di atas, dapat diketahui bahwa bagi masyarakat muslim migrant di Amerika dan Inggris, hukum keluarga Islam tidak di akui dan diterapkan secara legal formal dalam negara atau di pengadilan, karena di negara-negara penganut common law ini tetap diterpkan hukum stempat. Hal ini dikarenakan negara-negara ini menganut prinsip domisili dalam bidang hukum status personal. Sehingga, masyarakat muslim menerapkan hukum keluarga Islam secara cultural dalam masyarakatnya sendiri, yang dibimbing oleh mufti atau imam mereka, dan tidak sah sebagai hukum negara.
Adapun di negara Jerman, yang menganut civil law system, bagi masyarakat muslim migrant tetap dapat diterapkan hukum keluarga muslim secara resmi bahkan pengadilannya. Hal ini karena negara-negara Eropa continental menganut prinsip nasionalitas dalam penetapan hukum status personal.
Kritik
Dalam penulisan makalah ini kami rasa masih terdapat beberapa kekurangan pada pembahasan serta penjelasan . Maka dari itu kami selaku penulis makalah sangat membutuhkan suatu tanggapan dari pembaca yang sifatnya membangun supaya dalam pembuatan makalah selanjutnya bisa menjadi lebih baik.
Saran
Dengan adanya suatu tanggapan mengenai baik dan buruknya makalah ini , kami selaku penulis juga mengharapkan suatu saran dari pembaca yang sifatnya juga untuk membangun untuk pembuatan makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Wahyuni, Sri.,2014.“Hukum Keluarga Islam Dalam Masyarakat Muslim Diaspora di Barat”. Al-Mazahib.
Abadi, Khafid.,2013.“Hukum Keluarga Islam di Negara Berpenduduk Minoritas Muslim”. Al
Comments
Post a Comment